A.
Pengetian
Sekularisasi dalam Ilmu Pengetahuan
Secara
bahasa istilah sekularisme berasal dari kata saeculum yang memiliki dua
dimensi, yang pertama adalah dimensi ruang dengan pengertian di sini dan yang
kedua adalah dimensi waktu dengan pengertian saat ini. Sekularisme memiliki
pandangan akan kehidupan yang didasari akan dua pandangan adalah di sini dan
saat ini.
Secara makna sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang memisahkan antara dunia dan akhirat, agama dan negara, akal dan wahyu, materi dan immateri, rasional dan irrasional. Sekularisme menjadi paham yang melihat sebuah realitas secara parsial dan menafikan segala sesuatu yang tidak bisa diterima secara rasional dan logis.
Sekularisme berkembang dari aliran filsafat Yunani yang diawali oleh pemikiran salah satu filsuf Yunani, Aristoteles. Aristoteles mempunyai pemikiran bahwa Tuhan setelah menciptakan alam semesta tidak lagi mempunyai peranan dan tanggung jawab dalam perputaran alam semeseta ini. Konsepsi Tuhan dalam pemikiran Aristoteles terpisah jauh dari realitas alam semesta sehingga memunculkan pandangan akan ketidak absolutan Tuhan. Pandangan ini akan menafikan realitas kekuasaan Tuhan dalam kehidupan alam semesta, khususnya manusia dan menyebabkan lahirnya suatu pandangan pemisahan antara kekuasaan antara Tuhan dan kehidupan dengan manusia itu sendiri.
Sekularisme juga dapat dilihat dari berkembangnya aliran pemikiran rasionalisme yang menafikan sesuatu yang diluar pemahaman akal. Dalam pandangan rasionalisme, segala sesuatu yang diluar pemahaman akal manusia dinyatakan bukan sebagai sesuatu realitas dan diyakini ketiadaannya. Pandangan ini menilai sesuatu yang nyata adalah segala sesuatu yang dapat dicerna melalui indera manusia yaitu dapat dilihat, didengar, diraba, dibaui, dan dirasakan. Apabila dalam proses penginderaan sesuatu tidak dapat ditangkap realitasnya maka konsepsi akan hal tersebut adalah tidak nyata atau tiada. Beranjak dari pemahaman di atas maka pandangan hidup yang terbentuk dalam peradaban Yunani Kuno adalah pandangan hidup yang materialistik yang melihat bahwa realitas dunia adalah materi dan menolak immateri dalam sebuah konteks pemahaman oleh akal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dapat ditelusuri jejaknya dari peradaban besar yang terus hadir dalam peredaran dunia ini dengan silih berganti. Peradaban Yunani-Romawi, Peradaban Islam dan masa Renaissance. Penulis berpendapat salah satu faktor dalam perkembangan peradaban tersebut adalah berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai trigger utama. Peradaban Yunani-Rumawi sebagai salah satu bangsa pionir dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentu mempunyai andil dalam menyebarkan luaskan pemahaman yaitu antara yang materialistik dengan rasionalistik.
Secara makna sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang memisahkan antara dunia dan akhirat, agama dan negara, akal dan wahyu, materi dan immateri, rasional dan irrasional. Sekularisme menjadi paham yang melihat sebuah realitas secara parsial dan menafikan segala sesuatu yang tidak bisa diterima secara rasional dan logis.
Sekularisme berkembang dari aliran filsafat Yunani yang diawali oleh pemikiran salah satu filsuf Yunani, Aristoteles. Aristoteles mempunyai pemikiran bahwa Tuhan setelah menciptakan alam semesta tidak lagi mempunyai peranan dan tanggung jawab dalam perputaran alam semeseta ini. Konsepsi Tuhan dalam pemikiran Aristoteles terpisah jauh dari realitas alam semesta sehingga memunculkan pandangan akan ketidak absolutan Tuhan. Pandangan ini akan menafikan realitas kekuasaan Tuhan dalam kehidupan alam semesta, khususnya manusia dan menyebabkan lahirnya suatu pandangan pemisahan antara kekuasaan antara Tuhan dan kehidupan dengan manusia itu sendiri.
Sekularisme juga dapat dilihat dari berkembangnya aliran pemikiran rasionalisme yang menafikan sesuatu yang diluar pemahaman akal. Dalam pandangan rasionalisme, segala sesuatu yang diluar pemahaman akal manusia dinyatakan bukan sebagai sesuatu realitas dan diyakini ketiadaannya. Pandangan ini menilai sesuatu yang nyata adalah segala sesuatu yang dapat dicerna melalui indera manusia yaitu dapat dilihat, didengar, diraba, dibaui, dan dirasakan. Apabila dalam proses penginderaan sesuatu tidak dapat ditangkap realitasnya maka konsepsi akan hal tersebut adalah tidak nyata atau tiada. Beranjak dari pemahaman di atas maka pandangan hidup yang terbentuk dalam peradaban Yunani Kuno adalah pandangan hidup yang materialistik yang melihat bahwa realitas dunia adalah materi dan menolak immateri dalam sebuah konteks pemahaman oleh akal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dapat ditelusuri jejaknya dari peradaban besar yang terus hadir dalam peredaran dunia ini dengan silih berganti. Peradaban Yunani-Romawi, Peradaban Islam dan masa Renaissance. Penulis berpendapat salah satu faktor dalam perkembangan peradaban tersebut adalah berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai trigger utama. Peradaban Yunani-Rumawi sebagai salah satu bangsa pionir dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentu mempunyai andil dalam menyebarkan luaskan pemahaman yaitu antara yang materialistik dengan rasionalistik.
Perkembangan
peradaban Islam juga disinyalir mendapatkan pengaruh dari filsafat dan
pemikiran Yunani-Romawi yang diterjemahkan oleh cendekiawan muslim ke dalam
bahasa Arab. Tokoh utama dalam penerjemahan tersebut adalah Ibnu Rusyd atau di
Barat disebut Averroes. Ibnu Rusyd menerjemahkan karya Plato dan Aristoteles,
dan setelahnya dunia Islam melakukan aktivitas dalam dunia intelektual dengan
kecepatan yang mengagumkan. Dan adanya hubungan antara peradaban Islam dengan
masa Renaissance di Barat juga diawali oleh adanya interaksi antara dunia Islam
dengan dunia Barat. Diawali oleh perang Salib, interaksi sosial-budaya dan
terjadinya transfer ilmu pengetahuan melalui penerjemahan karya-karya intelektual
muslim oleh orang-orang Eropa, salah satu tokohnya adalah Edward dari Cremona.
Kemudian muncullah budaya intelektual di Eropa abad pertengahan dengan Italia
sebagai pusatnya. Tetapi ada satu hal yang berbeda dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di masa masuknya filsafat ke dalam peradaban Islam. Intelektual
muslim mencoba merespon masuknya filsafat dengan melakukan proses
penyaringan,penyeleksian dan pemilihan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
B.
Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
Secara ontologis, sekularisasi ilmu pengetahuan berarti membuang
segala yang bersifat religius dan mistis, karena dipandang tidak relevan dalam
ilmu. Mitos dan religi disejajarkan dan dipandang sebagai pra ilmu yang hanya
bergayut dengan intuisi (dunia rasa). Ini berarti bahwa peran Tuhan dan dan
segala yang berbau mitos dan bernuangsa gaib sebagai sesuatu yang berpengaruh
ditiadakan. Sehingga sekularisasi bisa juga disebut dengan desakralisasi
(melepaskan diri dari segala bentuk yang bersifat sakral).
Sekularisme ilmiah memandang bahwa alam ini tidak mempunyai tujuan
dan maksud. Karena alam adalah benda mati yang netral. Tujuannya sangat
ditentukan oleh manusia. Pandangan ini menyebabkan manusia dengan segala daya
yang dimiliki mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata. Sebuah
disiplin ilmu juga hendak dipertahankan keobjektifan tujuan maka segala yang
terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif
dihindari guna menjaga realitas ilmu sebagai sesuatu yang independen, otonom
dan objektif. Hal ini sesuai dengan epistemologi yang digunakan yakni
rasionalisme dan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah
empiris (pengalaman). Sebagai konsekuensi dari epistemologi sekuler maka pada
tataran aksiologinya ilmu itu bebas nilai (value
free of sciences) atau ilmu netral nilai.
C.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu
modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari
tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa
realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang
mengatur dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka
realitas alam semesta tidak netral tapi mempunyai maksud dan tujuan. Hal ini
disinyalir dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Imran (3): 191
ربنا ما خلقت هذا
با طلا
Artinya: "Ya Tuhan kami
Engkau tidak menciptakan ini (alam) dengan sia-sia"
Islamisasi ilmu pengetahuan dalam tataran epistimologinya mengkaji
ayat-ayat al-Qur'an karena sebagian ayat al-Qur'an memasuki wilayah kajian
empiris dan historis sehingga kebenaran pernyataannya terbuka untuk dibuktikan
dan dihadapkan dengan metodologi keilmuan. Bahkan ayat yang pertama turun
berkenaan dengan perintah membaca juga segala upaya penelitian ilmiah yang
bermaksud mendemonstrasikan revolusi ilmiah (QS. Al-Alaq: 1-5). Islamisasi ilmu
pengetahuan secara aksiologi memandang bahwa ilmu pengetahuan itu sarat dengan
nilai-nilai moral (moral value)
dengan kata lain ilmu itu tidak netral nilai melainkan dalam ilmu pengetahuan
itu terkandung nilai-nilai luhur berdasarkan ajaran Islam yang mengkristal pada
akar-akar Ilahi.
Seorang sarjana terkemuka yang sangat memperhatikan masalah
islamisasi ilmu pengetahuan adalah Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana dikutip
oleh Ziaduddin Sardan, dalam bukunya Jihad Intelektual. Mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang
sifatnya dualisme (sistem Islam dan
sistem sekuler) harus dihilangkan dan dihapuskan. Dan kedua sistem ini harus
digabungkan dan diintegrasikan sementara sistem yang akan muncul harus diwarnai
dengan spirit Islam dan berfungsi sebagai bagian integral dari idiologi. Dengan
demikian islamisasi ilmu pengetahuan menjadi penting bagi kita khususnya umat
Islam guna mengcounter
pengaruh-pengaruh sekularisasi Barat yang bebas nilai.
D.
Pengertian ilmu
pengetahuan barat-sekuler
Ilmu pengetahuan barat-sekuler
merupakan tantangan yang paling besar bagi jam muslimin. Said Muhammad naqui
Al-Attas, peradaban barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis.
Sekalipun peradaban barat yang modern barat menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun
peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Ilmu barat modern tidak
dibangun diatas wahyu dan kepercayaan agama, namun berdasarkan tradisi budaya
yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler
yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.
Manusia
di dalam menjalani kehidupan mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar
kehidupannya. Inilah menyebabkan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan
sehingga mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini.
Manusia mempunyai ciri istimewa, pada setiap diri manusia terdapat
potensi-potensi untuk bisa dikembangkan
secara kreatif.
Manusia
mampu menalar, artinya berpikir secara logis dan analitis, karena kemampuan
menalar dan mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya, maka
manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan juga mampu
mengembangkannya.
Manusia
telah melalui perjalanan panjang dalam pencari hakikat dan makna hidupnya.
Pengalaman demi penglaman telah mereka lalui, akhirnya manusia sampai kepada
puncak kemajuan melalui pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi.. Ilmu
pengetahuan dan teknologi ini mendominasi segala aspek kehidupan dan mendesak
spritualitas sampai terpojok pada “lorong yang sangat sempit”
Salah
satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri modern
adalah karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya
mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mehden bahwa
banyak ilmuan sosial Amerika yang menilai agama sebagai faktor negatif dalam
proses modernisasi. Agama bagi mereka
adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat
kemajuan. Anggapan ini telah berakar
sejak abad ke 19.
Perkembangan
ilmu pengetahuan telah melahirkan berbagai macam dampak terhadap kehidupan
manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban
manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan
nilai-nilai kemanusiaan. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas
filsafat rasionalisme, empirisme dan
materialistisme, yang melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari
nilai-nilai spiritual.
E.
Tinjauan mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Istilah Sekularisasi berakar dari kata sekuler yang berasal dari
bahasa latin Seaculum artinya abad ( age, century ), yang mengandung arti
bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa
Inggris kata secular berarti hal yang
bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spiritual, abadi dan sakral
serta kehidupan di luar biara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala
hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu
al-’ilmani fi Mujaahwati al-Islam, sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah
yang bermakna sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan agama atau semata dunia.
Makna Sekularisasi itu sendiri, menurut Norcholis Madjid mengartikannya
sebagai proses penduniawian atau proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol
agama. Adapula yang mendefinisikannya sebagai suatu proses yang terjadi dalam
segala sektor kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang lepas dari dominasi
lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan.
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa makna Sekularisasi
Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap
pengaruh agama sebagai landasan berpikir. Sekularisasi berasal dari dunia Barat
Kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka
terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya
agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti
kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang
agung (280-337) yang melegalisasikan dalam
wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya merata ke benua Eropa,
terutama di abad pertengahan warna Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik
politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan.
Untuk lebih jauh mengetahui sejarah muncul dan berkembangnya
sekularisasi, maka kita akan memulai
melihat sejarah perkembangan filsafat Barat anatara abad peretengahan
sampai pada abad modern, di mana pada awal abad pertengahan ini, disebut
sebagai “abad gelap”. Pendapat ini didasarkan pada pendekatan sejarah gereja.
Pada masa ini juga dapat dikatakan
sebagai suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia kedalam
kehidupan/system kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan menerima ajaran
gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan terhambat.
Pada abad pertengahan ini tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia,
sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang
terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir pada saat itu tidak memiliki kebebasan
berpikir. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran
gereja, orang yang mengemukakan akan mendapat hukuman berat. Pihak geraja melarang diadakannya
penyelidikan-penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu, kajian
terhadap agama/teologi yang tidak berdasarkan ketentuan gereja akan mendapatkan
larangan yang ketat, yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama
hanyalah pihak gereja.
Filsafat abad pertengahan ini lazim disebut Filsafat Scholastik,
diambil dari kata Schuler yang
berarti ajaran atau sekolahan kemudian kata scholastik menjadi istilah bagi
filsafat pada abad ke-9 sampai dengan abad ke-15 yang mempuyai corak khusus
yaitu filsafat yang dipengaruhi oleh agama. Pada akhir abad pertengahan sebelum
masuknya abad modern muncullah
gerakan yang dalam sejarah filsafat disebut Renaissance.
Kata renaissance berarti kelahiran kembali. Secara historis Renaissance adalah suatu gerakan yang
meliputi zaman di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali. Di dalam
kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi
pengetahun.
Ciri utama renaissance
ialah humanisme, individualism, lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama),
empirisme dan rasionalime. Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah
pengetahuan rasional berkembang. Filsafat berkembang bukan pada zaman renaissance itu, melainkan kelak pada
zaman sesudahnya (zaman modern). Sains berkembang karena semangat dan hasil
empirisme itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat
humanisme itu. Ini kelihatan dengan
jelas kelak pada zaman modern
Filsafat modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang
disebut dengan renaissance didalamanya mengandung dua hal yang sangat penting, Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan
gereja. Kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu
pengetahuan. Pengaruh dari gerakan renaissance itu telah menyebabkan peradaban
dan kebudayaan barat modern berkembang pesat, dan semakin bebas dari pengaruh
otoritas dogma-dogma geraja. Terbebasnya manusia Barat dari otoritas gereja
berdampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Sejak itu kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan
dan kapasistas intelektual (sikap ilmiah) yang kenbenarannya dapat dibuktikan
berdasarkan metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang
dihasilkan tidak bersifat tetap. tetapi dapat berubah dan dikoreksi sepanjang
waktu
Dengan terlepasnya para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan
sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup”
menjadi dua bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan
ke pemerintah (penguasa). Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri.
Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan
tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga
tidak ada intervensi antar keduanya.
F.
Epistemologi megenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Secara
formal epistemologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan
empirisme. Di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris
dan menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.
Sesuai
dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat
sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati
aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan
agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga
realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang independen dan objektif. Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan
yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah,
dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui
pengalaman.
Dengan
rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang
alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang
netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia
dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk
kepentingan manusia semata.
Apabila
dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada tahapan
ontologis, manusia berpendapat bahwa
terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang
menguasai gejala-gejala empiris. Sehingga dalam menghadapi masalah tertentu,
manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang
menungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan menelaah dan
mencari pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka ilmu
pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran yang
berdasarkan pada penalaran. Dalam hal ini ilmu pengetahuan menyadari bahwa
masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat kongkrit yan terdapat
dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu pengetahuan, masalah yang dikajinya
hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan pengalaman manusia. Hal
ini harus kita sadari karena inilah yang
memisahkan daerah ilmu pengetahuan dan agama.
Lebih
jauh lagi Norcholis Madjid mengemukakan
bahwa dalam proses penduniawian terjadi
pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan
duniawi ini. Dalam lebih memperhatikan kehidupan duniawi itu , telah tercakup
pula sikap yang objektif dalam menelaah
hukum-hukm yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-penyimpulan
yang jujur. Pengetahuan mutlak
diperlukan guna memperoleh ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan
masalah-masalahnya. Dan disinilah sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan.
Suatu
faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir termasuk
sekularisasi. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu:
1.
Prinsip-prinsip
esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata.
2.
Etika dan
moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika,
segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang
bersifat vaiditas.
Masih
mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya
mengatur tentang akhirat belaka. Menekankan perlunya toleransi semua golongan
masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama. Menjunjung tinggi penggunaan rasio
dan kecerdasan. Satu hal yang serta
kaitannya dengan rasionalisasi yang merupakan salah satu ciri dari sekularisasi ialah upaya untuk mencari cara yang secara
teknis efesien demi mengurangi resiko dalam berbagai hal yang bersifat duniawi.
Salah satu bentuknya yang nyata ialah teknologi. Mesin-mesin yang berteknologi
tinggi dan efesien serta berbagai prosedur telah dirancang untuk mengurangi
ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah mengurangi ketergantungan kepada
keyakinan agama. Wilayah dimana agama menawarkan penjelasan yang bersifat
doktriner dan hasil yang hampir pasti
serta dapat diprediksi kini menjadi hilang maknanya. Petani-petani yantg
inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata lebih ditentukan oleh tindakan
membersihkan tanah dari semak-semak dan parasit dibandingkan memanjatkan doa.
Perkembangan rasionalitas teknis secara perlahan menggantikan pengaruh
supernatural dan pertimbangan moral, dan hal ini meluas di berbagai bidang
kehidupan.
Satu
hal yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini, yaitu
konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari adanya
konsep yang cukup tegas itu, hayalah terbit dari gejala kecendrungan
apologetis. Keterangan tentang hari agama dalam
kitab suci, kita semuanya mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab
suci Al-Qur’an di Surah Al-Infithar (82) ayat 17-19. Menarik kesimpulan dari
ayat ini, maka hari agama ialah masa ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan
antar manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku adalah hubungan antara
manusia dengan Tuhan, yang terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan
perkataan lain, pada waktu itu tidak berlaku lagi hukum-hukum sekuler atau dunia, dan yang
berlaku ialah hukum-hukm ukhrawi.
Sebaliknya,
pada hari dunia yang sekarang sedang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum
akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan kita ialah hukum-hukum
kemasyarakatan manusia. Memang hukum-hukum itu
bukan ciptaan manusia sendiri, melanikan juga ciptaan Tuhan (sunnatullah),
tetapi hukum itu tidak diterangkan sebagai doktrin-doktrin agama. Dan manusia
sendirilah yang harus berusaha memahaminya, dengan bekal kecerdasan yang telah
dianugerahkan kepadanya, kemudian memanfaatkan pengetahuannya itu untuk
mengatur perikehidupan masyarakatnya lebih lanjut. Oleh karena itu terdapat
konsistensi antara sekularisasi dengan rasionalisme dan empirisme, sebab inti
sekularisasi adalah pemahaman masalah dunia dengan mengarahkan kecerdasan
rasio. Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu
itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya.
Masalah
nilai dalam perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama pada masa Copernicus
pada abad ke-16 yang mwengemukakan bahwa bumi mengelilingi matahari sedangkan
agama pada waktu itu menyebutkan
matahari yang mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik antara ilmu yang ingin
mempelajari alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang berpendapat bahwa ilmu
harus didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar
bidang keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya, para ilmuan berhasil
memperoleh kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu mempunyai otonomi
untuk berkembang dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai yang bersifat dogmatis,
karena bebas nilai maka ilmu tidak boleh mempunyai tanggung jawab moral.
Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai kebebasan bergerak kemanapun
arahnya.
G.
Tinjauan aksiologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.
Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam
meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat
manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.
Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang
diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal
berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, sehingga setiap
orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa
ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama. Perkembangan ilmu
pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan
lingkungannya, di satu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia,
namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler
dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme
melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral, dan
etika.
Sebagai proses mendunianya kehidupan manusia, globalisasi mendorong
persebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas
geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia
dalam proses moderenisasi dan industrialisasi yang dahsyat, yang menciptkan
perubahan pada struktur dan pranata masyarakat. Gambaran di atas adalah bagian
kenyataan yang secara tidak langsung dihasilkan oleh adanya sekularisasi ilmu
pengetahuan. Sebagai akibat dari moderenisasi dan industrialisasi adalah
munculnya masyarakat modern atau masyarakat industrial. Masyarakat modern
memiliki pandangan dunia (world view)
yang bertolak dari suatu anggapan tentang kekuasaan manusia (antroposentrisme),
yaitu bahwa manusia merupakan pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia
mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang
kekuasaan manusia atau antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan
sekuler yang menekankan rasionalitas (kekuasaan akal-pikiran), individualitas
(kekuasaan diri-pribadi), materialitas (kekuasaan harta benda), dan relativitas
(kekuasaan nilai kenisbian).
Retasan-retasan faham atau pandangan di atas setidaknya tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh semangat sekularissi ilmu pengetahuan. Dengan demikian
sekularisasi ilmu pengetahuan dengan sendirinya telah keluar dari radius
jangkau definisi ilmu induknya dan sekaligus mengerdilkan peran agama dengan
cara menjauhi atau melepaskannya. Proses sekularisasi terus berlanjut sejalan
dengan perkembangan industrialisasi yang cepat, disebabkan oleh kemajuan ilmu
dan teknologi serta persaingan ekonomi yang semakin yang meluas. Karena itu,
Hendrik Kramer, sebagaimana dikutib oleh Sutan Alisjahbana dan Amsar Bakhtiar,
mengatakan bahwa semua agama di zaman modern sedang mengalami suatu krisis yang
amat dalam. Setiap orang di zaman ini yang melihat dan mengamati kehidupan
serta perkembangan agama dengan bermacam-macam alirannya, kesangsiannya dan
pertentangan di antara pengikut-pengikutnya, tidak dapat dengan jujur berkata
lain daipada itu.
Selanjutnya juga terjadi pertentangan-pertentangan antara ilmu-ilmu
eksakta dan ilmu-ilmu sosial bahkan terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan
masing-masing kapling bersikukuh dengan keangkuhannya masing-masing. Namun
menurut Abdurrahman Mas’ud, yang menjadi persoalan sebenarnya bukan pada
keterpisahan dari berbagai disiplin, karena hal ini merupakan konsekuensi diri
ke dalam kajian suatu ilmu, melainkan terletak pada terlepasnya dimensi moral
dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yaitu untuk
kesejahteraan umat manusia. Ilmu ekonomi menekankan bagaimana mendaptkan
keuntungan dan mengajarkan keserakahan, ilmu politik mengajarkan bagaimana
mendapatkan kekuasaan dan pemaksaan. Di bidang teknologi misalnya lebih menekankan
bagaimana mengeksploitasi resource
alam dan manusia, dan di bidang kedokteran menekankan bagaimana mengeksploitasi
jasad manusia. Setelah ditemukan kemajuan teknologi yang begitu hebat, ternyata
tanpa disadari teknologi itupun memenjarakan manusia. Artinya, penjara manusia
tidak berkurang dengan kemajuan teknologi tetapi semakin bertambah. Pada
konteks inilah manusia perlu disadarkan dari penjara yang bernama teknologi.
Dia harus sadar bahwa teknologi bukanlah tujuan, tetapi sekedar sarana untuk
memudahkan urusan. Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan perlu membebaskan
anak-anak dari pengaruh layar agar mereka tidak tergantung dan terpenjara oleh
layar. Kebenaran yang disuguhkan oleh layar adalah kebenaran nisbi, yang sangat
ditentukan oleh subjektifitas seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini juga
dimungkinkan karena proses produksi yang tidak sempurna atau cenderung
manipulatif.
Menurut Mahdi Ghulsyani, dengan bantuan ilmu seorang muslim, dengan
berbagai cara dan upaya dapat ber-taqarrubkepada
Allah. Pertama,dia dapat meningkatkan
pengetahuannya kepada Allah. Kedua,dia
dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan
tujuan-tujuannya. Ketiga,dia dapat
membimbing orang lain. Keempat,dia
dapat memecahkann berbagai problem masyarakat manusia. Empat hal di atas jika
dikaji lebih dalam ternyata tersirat posisi kriteria ilmu yang bermanfaat, jika
empat hal yang disandarkan kepada pemiliknya itu benar-benar ada maka bisa
dipastikan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat.
H.
Ilmu dalam
sejarah peradaban barat
Tokoh
yang dominan menurut furmerton adalah kaum skeptis dianggap mengisyaratkan
(presuppose) dan beberapa hal yang berkaitan dengan pengetahuan (knowledge)
atau justifikasi. Status mereka sebagai skeptis ditetapkan berdasakan klaimyang
mereka buat tentang (What we know) atau lebih tepatnya (don’t know). Pitagoras
memberikan diktumnya yang terkenal “Man is The Measures of all things”.
Filsafat
pada zaman pare-socratic tidak memberikan perhatian yang fundamental kepada
cabang filsafat epistemologi, namun lebih tertarik kepada filsafat alam. Mereka
menerima bahwa pengetahuan tentang alam adalah mungkin, meskipun beberapa dari
mereka menyarankan bahwa pengetahuan dari struktur realitas diperoleh dari
beberapa sumber dapat lebih baik dari sumber yang lainnya. Heraclitus
menekankan penggunaan indera dan parmenides lebih menekankan kepada peran dari
rasio. Namun, tidak ada yang meragukan pengetahuan tentang realitas adalah
mungkin. Hal tersebut belum muncul sampai abad ke 5SM.
Namun
beberapa ahli berbeda pendapat, menurut mereka, Plato adalah filsuf Yunani yang
bisa dikatakan menjadi pencetus nyata epistemologi, karena berusaha untuk
berurusan dengan pertanyaan pertanyaan dasar. The Eko merupaka dialog Plato
pertama untuk merefleksikan secara sistematis beberapa isu fundamental dam
epistemologi.
Plato
beranggapan bahwa pengetahuan merupakan kondisi kognisi yang paling tinggi dan
lebih dari sekedar kepercayaan yang benar. Pengetahuan lebih berharga dan lebih
sulit untuk didapatkan daripada kepercayaan. Walaupun pengetahuan susah untuk
dicapai, pengetahuan tetap dapat karena kita semua harus dan cenderung untuk
bergantung kepada kepercayaan-kepercayaan yang benar. Segala sesuatu yang
berasal dari pengenalan dan penangkapan indera, tidak layak disebut
pengetahuan. Plato membuatnya menjadi lebih eksplisit. Pengetahuan sejati bagi
Plato adalah episteme, yaitu pengetahuan tunggal yang sesuai dengan ide-ide
abadi. Ide-ide tersebut bersifat sempurna dan yang ditangkap oleh panca indera
hanyalah tiruan atau bayangan dari ide-ide abadi tersebut. Ide adalah suatu
yang riil (real) dan apabila seseorang melihat bayangan, maka ia akan langsung
teringat kepada ide abadi tersebut (rekoleksi). Menurut Plato, yang disebut
sebagai pengetahuan adalah kumpulan ingatan atau pengenalan ide abadi yang
terpendam dalam benak manusia.
Aristoteles
merupakan dari Plato. Plato mengajarkan dua cara atau pengenalan terhadap
pengetahuan. Pertama adalah pengenalan indrawi (empiris) dan kedua merupakan
pengenalan melalui akal (rasional). Aristoteles menolak epistemologi platonisme
dengan mengatakan bahwa pengetahuan seorang manusia harus berangkat dari
hal-hal partikular yang terpersepsi oleh indra dan setelah itu, ia akan
diabstraksikan menjadi pengetahuan akal budi (rasional) yang bersifat
universal. Aristoteles dalam hal ini berpegang pada satu diktum : tidak ada
sesuatupun yang terdapat diakal budi yang tidak terlebih dahulu terdapat pada
indra. Aristoteles merupakan pengikut Plato ia hanya bersebrangan dengan ajaran
gurunya mengenai perpisahan absolut antara ide dan gambarannya, antara
pengertian dan pemandangan, antara “ada” dan “menjadi”. Ida Plato terlalu
abstrak, Aristoteles menganggap Ida atau eidos sebagai sesuatu yang lebih
konkret. Oleh sebab itu, tugas logika yang utama menurut Aristoteles adalah
mengakui hubungan yang tepat antara yang umum dan yang khusus. Tugas ilmu
adalah menyatakan bahwa menurut logika, pendapat yang khusus (dari pengalaman)
harus datang dari pengetahuan yang bersifat umum.
Setelah
era Aristoteles, Alexander agung dari Makedonia merupakan murid dari
Aristoteles. Filsafat berkembang dengan cepat, namun tidak ada filsuf yang
sungguh-sungguh besar kecuali Plotinus (205-270 M). Plotinus melanjutkan
tradisi filsafat Plato, karya Plotinus yang terkenal adalah enneads atau
sembilan, karena 6 uku tersebut asing-masing terdiri dari 9 bagian. Plotinus
membagi alam menjadi 3 : The One, Intelligence (nous) dan Soul. Ajaran Plotinus
dikenal dengan neoplatonisme yang pengaruhnya kemudian sangat besar terhadap
para filsuf. Neoplatonisme berpandangan bahwa konsep fundamental yang
menghubungkan The One (tuhan yang absolut) dengan dunia ini adalah melalui
emanasi. Skema emanasi telah diadopsi tanpa modifikasi yang berarti oleh
beberapa tokoh kristen seperti pseudo-dionysius dan Johannes scottus eriugena.
Skema ini juga diadopsi oleh filsuf muslim seperti Al-farabi dan Ibn sina,
namun ditolak atau diterima dengan banyak perubahan oleh St. Agustinus dan
Thomas Aquinas, dan tokoh muslim seperti Al-Ghaazali
Pada
abad pertengahan, epistemologi berada dalam pengaruh Aristoteles. Refleksi abad
pertengahan dalam sains tujuan utamanya pengelaborasian teori dari pengetahuan
demonstratif, yang dipengaruhi tradisi Aristotelian. Tradisi yang menekankan
pada prosedur deduktif. Tradisi Aristotelian ini diperkuat oleh kebersatuannya
dengan tradisi lainnya, yaitu Platonisme yang disebarkan oleh St. Agustine.
Tradisi ini menambahkan permintaan universalitas dan keabadian. Sains kemudian
diartikan pengetahuanyang objeknya universal dan abadi.
Renaisans
yang terjadi pada abad ke-16 dimaknai dengan kelahiran kembali peradaban
Yunani-Romawi. Pelopornya disebut “humanis”, yang berarti pelajar dan pemuja
peradaban Yunani-Romawi para-kristen. Revolusi ilmiah menyebabkan epistemologi
mengalami perubahan secara substansial. Nilai dari logika tidak diabaikan, namun
kompleksitas dari kehidupan dan dorongan untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru
tentang dunia menjadi lebih rumit daripada para pendahulunya yang membangkitkan
teori baru tentang bagaimana cara mempelajari dunia yang paling efektif.
Merumuskan hipotesis dan teori yang berguna merupakan ciri khas epistemologi
dari revolusi ilmiah ini.
I.
Sekularisasi
dan Westernisasi Ilmu
Dimulai
ketika seorang filsuf barat, rene Descartes memformulasikan sebuah prinsip, aku
berfikir maka aku ada.dengan prinsip ini, telahmenjadikan rasio satu-satunya
kriteria untuk mengukur kebenaran. Penekanan terhadap rasio dan pancar indra
sebagai sumber ilmu. Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangat
berpengaruh. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang dimunculkan
Oleh David Hume yang skeptik. Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun
metafisika adalah tidak mungkin karena tidak bersandarkan kepada pancar indra.
Pandangan Kant didalam metafisika, tidak terdapat pernyataan seperti yang ada
di dalam matematika, fisika, dan ilmu-ilmu yang berdasarkan kepada fakta
empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transenden. Menurut Kant,
pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis.
Epistemologi
barat modern sekuler semakin bergulir dengan munculnya filsafat dialek tika
Hegel yang terpengaruh oleh Kant. Hegel, pengetahuan adalah ongoing process.
Epistemologi barat modern sekuler juga melahirkan paham ateisme. Akibatnya,
paham ateisme, menjadi fenomena umum berbagai disiplin keilmuan, seperti
filsafat, teologi yahudi-kristen, sains, sosiologi, psikologi, politik,
ekonomi, dll.
Ludweig
feurBach murid Hegel merupakan salah satu pelopor paham ateisme diabad modern.
feurBach, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia.
Sekalipun agama atau teologi menyangkal, tuhan alah manusia dan manusia adalah
tuhan. Jadi, agama akan menafikkan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya
dari teologi adalah antropologi. Agama adalah mimpi akal manusia. Karl Marx
berpendapat bahwa agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia
tanpa hati, sebagaimana suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu
rakyat. Agama adalah faktor sekunder, sedangkan aktor primernya adalah ekonomi.
Marx
memuji karya Charles Robert Darwin dalam bidang sains, yang menyimpulkan Tuhan
tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal mula spesies bukan berasal
dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan”. Tuhan tidak menciptakan
makhluk hidup, semua spesies yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek
moyang yang sama. Spesies menjadi berbeda antara yang satu dengan yang lain
disebabkan kondisi-kondisi alam. Paham ateisme juga berkembang dalam ilmu
sosiologi. Auguste Comte, memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk
keterbelakangan masyarakat. Masyarakat berrkembang melalui tiga fase, perama,
fase teologis (fiktif) kedua fase metafisik (abstrak), ketiga fase saintifik
(positif). Karakteristik dari setiap fase itu bertentangan antara satu dengan
yang lain. Fase teologis, manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan
gaib. Fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh
kekuatan-kekuatan abstrak, yang nyata yang menggantikan kekuatan gaib. Fase
positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang
mutlak. Pendapat Comte, yang menolak agama diikuit oleh para sosiolog yang
lain.
Sigmund
Freud menegaskan doktrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai realitas
dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah satu-satunya jalan untuk
membimbing kearah ilmu pengetahuan. Nietzsche menyatakan, “antara agama dan
sains yang betul,tidak terdapat keterkaitan, persahabatan, bahkan permusuhan:
keduanya menetap dibintang yang berbeda”. Nietzsche mengkritik agama, merujuk
Secaraa lebih khusus kepada agama kristen.
Selain melahirkan ateisme, epistemologi barat modern sekuler telah
menyebabkan teologi kristen menjadi sekuler. Pandangan hidup kristiani telah
mengalami pergeseran paradigma.
Tulisan yang menarik, ditunggu sambungannya Mbak ..
BalasHapusTulisannya menarik... saya kopas ya mbak..
BalasHapus