Rabu, 26 November 2014

SEKULARISASI ILMU PENGETAHUAN



A.     Pengetian Sekularisasi dalam Ilmu Pengetahuan
Secara bahasa istilah sekularisme berasal dari kata saeculum yang memiliki dua dimensi, yang pertama adalah dimensi ruang dengan pengertian di sini dan yang kedua adalah dimensi waktu dengan pengertian saat ini. Sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang didasari akan dua pandangan adalah di sini dan saat ini.
Secara makna sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang memisahkan antara dunia dan akhirat, agama dan negara, akal dan wahyu, materi dan immateri, rasional dan irrasional. Sekularisme menjadi paham yang melihat sebuah realitas secara parsial dan menafikan segala sesuatu yang tidak bisa diterima secara rasional dan logis.
Sekularisme berkembang dari aliran filsafat Yunani yang diawali oleh pemikiran salah satu filsuf Yunani, Aristoteles. Aristoteles mempunyai pemikiran bahwa Tuhan setelah menciptakan alam semesta tidak lagi mempunyai peranan dan tanggung jawab dalam perputaran alam semeseta ini. Konsepsi Tuhan dalam pemikiran Aristoteles terpisah jauh dari realitas alam semesta sehingga memunculkan pandangan akan ketidak absolutan Tuhan. Pandangan ini akan menafikan realitas kekuasaan Tuhan dalam kehidupan alam semesta, khususnya manusia dan menyebabkan lahirnya suatu  pandangan pemisahan antara kekuasaan antara Tuhan dan kehidupan dengan manusia itu sendiri.
Sekularisme juga dapat dilihat dari berkembangnya aliran pemikiran rasionalisme yang menafikan sesuatu yang diluar pemahaman akal. Dalam pandangan rasionalisme, segala sesuatu yang diluar pemahaman akal manusia dinyatakan bukan sebagai sesuatu realitas dan diyakini ketiadaannya. Pandangan ini menilai sesuatu yang nyata adalah segala sesuatu yang dapat dicerna melalui indera manusia yaitu dapat dilihat, didengar, diraba, dibaui, dan dirasakan. Apabila dalam proses penginderaan sesuatu tidak dapat ditangkap realitasnya maka konsepsi akan hal tersebut adalah tidak nyata atau tiada. Beranjak dari pemahaman di atas maka pandangan hidup yang terbentuk dalam peradaban Yunani Kuno adalah pandangan hidup yang materialistik yang melihat bahwa realitas dunia adalah materi dan menolak immateri dalam sebuah konteks pemahaman oleh akal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dapat ditelusuri jejaknya dari peradaban besar yang terus hadir dalam peredaran dunia ini dengan silih berganti. Peradaban Yunani-Romawi, Peradaban Islam dan masa Renaissance. Penulis berpendapat salah satu faktor dalam perkembangan peradaban tersebut adalah berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai trigger utama. Peradaban Yunani-Rumawi sebagai salah satu bangsa pionir dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentu mempunyai andil dalam menyebarkan luaskan pemahaman yaitu antara yang materialistik dengan rasionalistik.
Perkembangan peradaban Islam juga disinyalir mendapatkan pengaruh dari filsafat dan pemikiran Yunani-Romawi yang diterjemahkan oleh cendekiawan muslim ke dalam bahasa Arab. Tokoh utama dalam penerjemahan tersebut adalah Ibnu Rusyd atau di Barat disebut Averroes. Ibnu Rusyd menerjemahkan karya Plato dan Aristoteles, dan setelahnya dunia Islam melakukan aktivitas dalam dunia intelektual dengan kecepatan yang mengagumkan. Dan adanya hubungan antara peradaban Islam dengan masa Renaissance di Barat juga diawali oleh adanya interaksi antara dunia Islam dengan dunia Barat. Diawali oleh perang Salib, interaksi sosial-budaya dan terjadinya transfer ilmu pengetahuan melalui penerjemahan karya-karya intelektual muslim oleh orang-orang Eropa, salah satu tokohnya adalah Edward dari Cremona. Kemudian muncullah budaya intelektual di Eropa abad pertengahan dengan Italia sebagai pusatnya. Tetapi ada satu hal yang berbeda dalam perkembangan ilmu pengetahuan di masa masuknya filsafat ke dalam peradaban Islam. Intelektual muslim mencoba merespon masuknya filsafat dengan melakukan proses penyaringan,penyeleksian dan pemilihan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.

B.     Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
Secara ontologis, sekularisasi ilmu pengetahuan berarti membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dipandang tidak relevan dalam ilmu. Mitos dan religi disejajarkan dan dipandang sebagai pra ilmu yang hanya bergayut dengan intuisi (dunia rasa). Ini berarti bahwa peran Tuhan dan dan segala yang berbau mitos dan bernuangsa gaib sebagai sesuatu yang berpengaruh ditiadakan. Sehingga sekularisasi bisa juga disebut dengan desakralisasi (melepaskan diri dari segala bentuk yang bersifat sakral).
Sekularisme ilmiah memandang bahwa alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud. Karena alam adalah benda mati yang netral. Tujuannya sangat ditentukan oleh manusia. Pandangan ini menyebabkan manusia dengan segala daya yang dimiliki mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata. Sebuah disiplin ilmu juga hendak dipertahankan keobjektifan tujuan maka segala yang terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif dihindari guna menjaga realitas ilmu sebagai sesuatu yang independen, otonom dan objektif. Hal ini sesuai dengan epistemologi yang digunakan yakni rasionalisme dan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman). Sebagai konsekuensi dari epistemologi sekuler maka pada tataran aksiologinya ilmu itu bebas nilai (value free of sciences) atau ilmu netral nilai.

C.      Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tapi mempunyai maksud dan tujuan. Hal ini disinyalir dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Imran (3): 191
ربنا ما خلقت هذا با طلا
Artinya: "Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan ini (alam) dengan sia-sia"
Islamisasi ilmu pengetahuan dalam tataran epistimologinya mengkaji ayat-ayat al-Qur'an karena sebagian ayat al-Qur'an memasuki wilayah kajian empiris dan historis sehingga kebenaran pernyataannya terbuka untuk dibuktikan dan dihadapkan dengan metodologi keilmuan. Bahkan ayat yang pertama turun berkenaan dengan perintah membaca juga segala upaya penelitian ilmiah yang bermaksud mendemonstrasikan revolusi ilmiah (QS. Al-Alaq: 1-5). Islamisasi ilmu pengetahuan secara aksiologi memandang bahwa ilmu pengetahuan itu sarat dengan nilai-nilai moral (moral value) dengan kata lain ilmu itu tidak netral nilai melainkan dalam ilmu pengetahuan itu terkandung nilai-nilai luhur berdasarkan ajaran Islam yang mengkristal pada akar-akar Ilahi.
Seorang sarjana terkemuka yang sangat memperhatikan masalah islamisasi ilmu pengetahuan adalah Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Ziaduddin Sardan, dalam bukunya Jihad Intelektual.  Mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang sifatnya  dualisme (sistem Islam dan sistem sekuler) harus dihilangkan dan dihapuskan. Dan kedua sistem ini harus digabungkan dan diintegrasikan sementara sistem yang akan muncul harus diwarnai dengan spirit Islam dan berfungsi sebagai bagian integral dari idiologi. Dengan demikian islamisasi ilmu pengetahuan menjadi penting bagi kita khususnya umat Islam guna mengcounter pengaruh-pengaruh sekularisasi Barat yang bebas nilai.

D.     Pengertian ilmu pengetahuan barat-sekuler
Ilmu pengetahuan barat-sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi jam muslimin. Said Muhammad naqui Al-Attas, peradaban barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Sekalipun peradaban barat yang modern barat menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam  kehidupan manusia. Ilmu barat modern tidak dibangun diatas wahyu dan kepercayaan agama, namun berdasarkan tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.
Manusia di dalam menjalani kehidupan mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar kehidupannya. Inilah menyebabkan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini. Manusia mempunyai ciri istimewa, pada setiap diri manusia terdapat potensi-potensi untuk bisa dikembangkan  secara kreatif.
Manusia mampu menalar, artinya berpikir secara logis dan analitis, karena kemampuan menalar dan mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya, maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkannya.
Manusia telah melalui perjalanan panjang dalam pencari hakikat dan makna hidupnya. Pengalaman demi penglaman telah mereka lalui, akhirnya manusia sampai kepada puncak kemajuan melalui pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi.. Ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendominasi segala aspek kehidupan dan mendesak spritualitas sampai terpojok pada “lorong yang sangat sempit”
Salah satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri modern adalah karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mehden bahwa banyak ilmuan sosial Amerika yang menilai agama sebagai faktor negatif dalam proses modernisasi.  Agama bagi mereka adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan. Anggapan ini telah berakar  sejak abad ke 19.
Perkembangan ilmu pengetahuan telah melahirkan berbagai macam dampak terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat rasionalisme, empirisme dan  materialistisme, yang melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual.

E.      Tinjauan mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Istilah Sekularisasi berakar dari kata sekuler yang berasal dari bahasa latin Seaculum artinya abad ( age, century ), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spiritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi Mujaahwati al-Islam, sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah yang bermakna sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan agama atau semata dunia.
Makna Sekularisasi itu sendiri, menurut Norcholis Madjid mengartikannya sebagai proses penduniawian atau proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama. Adapula yang mendefinisikannya sebagai suatu proses yang terjadi dalam segala sektor kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang lepas dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan.
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan  di atas menunjukkan bahwa makna Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir. Sekularisasi berasal dari dunia Barat Kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280-337) yang melegalisasikan dalam  wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan.
Untuk lebih jauh mengetahui sejarah muncul dan berkembangnya sekularisasi, maka kita akan memulai  melihat sejarah perkembangan filsafat Barat anatara abad peretengahan sampai pada abad modern, di mana pada awal abad pertengahan ini, disebut sebagai “abad gelap”. Pendapat ini didasarkan pada pendekatan sejarah gereja. Pada  masa ini juga dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia kedalam kehidupan/system kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan terhambat. Pada abad  pertengahan ini tindakan  gereja sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir pada saat itu tidak memiliki kebebasan berpikir. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja, orang yang mengemukakan akan mendapat hukuman berat.  Pihak geraja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu, kajian terhadap agama/teologi yang tidak berdasarkan ketentuan gereja akan mendapatkan larangan yang ketat, yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak gereja.
Filsafat abad pertengahan ini lazim disebut Filsafat Scholastik, diambil dari kata Schuler yang berarti ajaran atau sekolahan kemudian kata scholastik menjadi istilah bagi filsafat pada abad ke-9 sampai dengan abad ke-15 yang mempuyai corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi oleh agama. Pada akhir abad pertengahan sebelum masuknya abad modern  muncullah gerakan  yang dalam sejarah filsafat  disebut Renaissance. Kata renaissance berarti kelahiran kembali. Secara historis Renaissance adalah suatu gerakan yang meliputi zaman di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahun.
Ciri utama renaissance ialah humanisme, individualism, lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama), empirisme dan rasionalime. Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Filsafat berkembang bukan pada zaman renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman modern). Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisme itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat humanisme itu. Ini kelihatan dengan  jelas  kelak pada zaman modern
Filsafat modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan renaissance didalamanya mengandung dua hal yang sangat penting, Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan gereja. Kedua,  semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan renaissance itu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan barat modern berkembang pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma geraja. Terbebasnya manusia Barat dari otoritas gereja berdampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejak itu kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kapasistas intelektual (sikap ilmiah) yang kenbenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap. tetapi dapat berubah dan dikoreksi sepanjang waktu
Dengan terlepasnya para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada intervensi antar keduanya.

F.      Epistemologi megenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Secara formal epistemologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan empirisme. Di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.
Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang independen dan objektif.  Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah, dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.
Apabila dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada tahapan ontologis,  manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Sehingga dalam menghadapi masalah tertentu, manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang menungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan menelaah dan mencari pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka ilmu pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran yang berdasarkan pada penalaran. Dalam hal ini ilmu pengetahuan menyadari bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat kongkrit yan terdapat dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu pengetahuan, masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari  karena inilah yang memisahkan daerah ilmu pengetahuan dan agama.
Lebih jauh lagi  Norcholis Madjid mengemukakan bahwa dalam proses penduniawian  terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini. Dalam lebih memperhatikan kehidupan duniawi itu , telah tercakup pula sikap yang objektif dalam menelaah  hukum-hukm yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-penyimpulan yang  jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan guna memperoleh ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya. Dan disinilah sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan.
Suatu faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir termasuk sekularisasi. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan   yaitu:
1.              Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata.
2.              Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.
Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak  boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka. Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan. Satu hal yang serta kaitannya dengan rasionalisasi yang merupakan salah satu  ciri dari sekularisasi  ialah upaya untuk mencari cara yang secara teknis efesien demi mengurangi resiko dalam berbagai hal yang bersifat duniawi. Salah satu bentuknya yang nyata ialah teknologi. Mesin-mesin yang berteknologi tinggi dan efesien serta berbagai prosedur telah dirancang untuk mengurangi ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah mengurangi ketergantungan kepada keyakinan agama. Wilayah dimana agama menawarkan penjelasan yang bersifat doktriner  dan hasil yang hampir pasti serta dapat diprediksi kini menjadi hilang maknanya. Petani-petani yantg inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata lebih ditentukan oleh tindakan membersihkan tanah dari semak-semak dan parasit dibandingkan memanjatkan doa. Perkembangan rasionalitas teknis secara perlahan menggantikan pengaruh supernatural dan pertimbangan moral, dan hal ini meluas di berbagai bidang kehidupan.
Satu hal yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini, yaitu konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari adanya konsep yang cukup tegas itu, hayalah terbit dari gejala kecendrungan apologetis. Keterangan tentang hari agama dalam  kitab suci, kita semuanya mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab suci Al-Qur’an di Surah Al-Infithar (82) ayat 17-19. Menarik kesimpulan dari ayat ini, maka hari agama ialah masa ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, yang terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan perkataan lain, pada waktu itu tidak berlaku lagi  hukum-hukum sekuler atau dunia, dan yang berlaku ialah hukum-hukm ukhrawi.
Sebaliknya, pada hari dunia yang sekarang sedang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan kita ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia. Memang hukum-hukum itu  bukan ciptaan manusia sendiri, melanikan juga ciptaan Tuhan (sunnatullah), tetapi hukum itu tidak diterangkan sebagai doktrin-doktrin agama. Dan manusia sendirilah yang harus berusaha memahaminya, dengan bekal kecerdasan yang telah dianugerahkan kepadanya, kemudian memanfaatkan pengetahuannya itu untuk mengatur perikehidupan masyarakatnya lebih lanjut. Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dengan rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah dunia dengan mengarahkan kecerdasan rasio. Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya.
Masalah nilai dalam perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama pada masa Copernicus pada abad ke-16 yang mwengemukakan bahwa bumi mengelilingi matahari sedangkan agama  pada waktu itu menyebutkan matahari yang mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik antara ilmu yang ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang berpendapat bahwa ilmu harus didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya, para ilmuan berhasil memperoleh kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu mempunyai otonomi untuk berkembang dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai yang bersifat dogmatis, karena bebas nilai maka ilmu tidak boleh mempunyai tanggung jawab moral. Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai kebebasan bergerak kemanapun arahnya.

G.     Tinjauan aksiologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.
Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, sehingga setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama. Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, di satu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral, dan etika.
Sebagai proses mendunianya kehidupan manusia, globalisasi mendorong persebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia dalam proses moderenisasi dan industrialisasi yang dahsyat, yang menciptkan perubahan pada struktur dan pranata masyarakat. Gambaran di atas adalah bagian kenyataan yang secara tidak langsung dihasilkan oleh adanya sekularisasi ilmu pengetahuan. Sebagai akibat dari moderenisasi dan industrialisasi adalah munculnya masyarakat modern atau masyarakat industrial. Masyarakat modern memiliki pandangan dunia (world view) yang bertolak dari suatu anggapan tentang kekuasaan manusia (antroposentrisme), yaitu bahwa manusia merupakan pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia atau antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan sekuler yang menekankan rasionalitas (kekuasaan akal-pikiran), individualitas (kekuasaan diri-pribadi), materialitas (kekuasaan harta benda), dan relativitas (kekuasaan nilai kenisbian).
Retasan-retasan faham atau pandangan di atas setidaknya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh semangat sekularissi ilmu pengetahuan. Dengan demikian sekularisasi ilmu pengetahuan dengan sendirinya telah keluar dari radius jangkau definisi ilmu induknya dan sekaligus mengerdilkan peran agama dengan cara menjauhi atau melepaskannya. Proses sekularisasi terus berlanjut sejalan dengan perkembangan industrialisasi yang cepat, disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta persaingan ekonomi yang semakin yang meluas. Karena itu, Hendrik Kramer, sebagaimana dikutib oleh Sutan Alisjahbana dan Amsar Bakhtiar, mengatakan bahwa semua agama di zaman modern sedang mengalami suatu krisis yang amat dalam. Setiap orang di zaman ini yang melihat dan mengamati kehidupan serta perkembangan agama dengan bermacam-macam alirannya, kesangsiannya dan pertentangan di antara pengikut-pengikutnya, tidak dapat dengan jujur berkata lain daipada itu.
Selanjutnya juga terjadi pertentangan-pertentangan antara ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu sosial bahkan terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan masing-masing kapling bersikukuh dengan keangkuhannya masing-masing. Namun menurut Abdurrahman Mas’ud, yang menjadi persoalan sebenarnya bukan pada keterpisahan dari berbagai disiplin, karena hal ini merupakan konsekuensi diri ke dalam kajian suatu ilmu, melainkan terletak pada terlepasnya dimensi moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia. Ilmu ekonomi menekankan bagaimana mendaptkan keuntungan dan mengajarkan keserakahan, ilmu politik mengajarkan bagaimana mendapatkan kekuasaan dan pemaksaan. Di bidang teknologi misalnya lebih menekankan bagaimana mengeksploitasi resource alam dan manusia, dan di bidang kedokteran menekankan bagaimana mengeksploitasi jasad manusia. Setelah ditemukan kemajuan teknologi yang begitu hebat, ternyata tanpa disadari teknologi itupun memenjarakan manusia. Artinya, penjara manusia tidak berkurang dengan kemajuan teknologi tetapi semakin bertambah. Pada konteks inilah manusia perlu disadarkan dari penjara yang bernama teknologi. Dia harus sadar bahwa teknologi bukanlah tujuan, tetapi sekedar sarana untuk memudahkan urusan. Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan perlu membebaskan anak-anak dari pengaruh layar agar mereka tidak tergantung dan terpenjara oleh layar. Kebenaran yang disuguhkan oleh layar adalah kebenaran nisbi, yang sangat ditentukan oleh subjektifitas seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini juga dimungkinkan karena proses produksi yang tidak sempurna atau cenderung manipulatif.
Menurut Mahdi Ghulsyani, dengan bantuan ilmu seorang muslim, dengan berbagai cara dan upaya dapat ber-taqarrubkepada Allah. Pertama,dia dapat meningkatkan pengetahuannya kepada Allah. Kedua,dia dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan tujuan-tujuannya. Ketiga,dia dapat membimbing orang lain. Keempat,dia dapat memecahkann berbagai problem masyarakat manusia. Empat hal di atas jika dikaji lebih dalam ternyata tersirat posisi kriteria ilmu yang bermanfaat, jika empat hal yang disandarkan kepada pemiliknya itu benar-benar ada maka bisa dipastikan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat.

H.    Ilmu dalam sejarah peradaban barat
Tokoh yang dominan menurut furmerton adalah kaum skeptis dianggap mengisyaratkan (presuppose) dan beberapa hal yang berkaitan dengan pengetahuan (knowledge) atau justifikasi. Status mereka sebagai skeptis ditetapkan berdasakan klaimyang mereka buat tentang (What we know) atau lebih tepatnya (don’t know). Pitagoras memberikan diktumnya yang terkenal “Man is The Measures of all things”.
Filsafat pada zaman pare-socratic tidak memberikan perhatian yang fundamental kepada cabang filsafat epistemologi, namun lebih tertarik kepada filsafat alam. Mereka menerima bahwa pengetahuan tentang alam adalah mungkin, meskipun beberapa dari mereka menyarankan bahwa pengetahuan dari struktur realitas diperoleh dari beberapa sumber dapat lebih baik dari sumber yang lainnya. Heraclitus menekankan penggunaan indera dan parmenides lebih menekankan kepada peran dari rasio. Namun, tidak ada yang meragukan pengetahuan tentang realitas adalah mungkin. Hal tersebut belum muncul sampai abad ke 5SM.
Namun beberapa ahli berbeda pendapat, menurut mereka, Plato adalah filsuf Yunani yang bisa dikatakan menjadi pencetus nyata epistemologi, karena berusaha untuk berurusan dengan pertanyaan pertanyaan dasar. The Eko merupaka dialog Plato pertama untuk merefleksikan secara sistematis beberapa isu fundamental dam epistemologi.
Plato beranggapan bahwa pengetahuan merupakan kondisi kognisi yang paling tinggi dan lebih dari sekedar kepercayaan yang benar. Pengetahuan lebih berharga dan lebih sulit untuk didapatkan daripada kepercayaan. Walaupun pengetahuan susah untuk dicapai, pengetahuan tetap dapat karena kita semua harus dan cenderung untuk bergantung kepada kepercayaan-kepercayaan yang benar. Segala sesuatu yang berasal dari pengenalan dan penangkapan indera, tidak layak disebut pengetahuan. Plato membuatnya menjadi lebih eksplisit. Pengetahuan sejati bagi Plato adalah episteme, yaitu pengetahuan tunggal yang sesuai dengan ide-ide abadi. Ide-ide tersebut bersifat sempurna dan yang ditangkap oleh panca indera hanyalah tiruan atau bayangan dari ide-ide abadi tersebut. Ide adalah suatu yang riil (real) dan apabila seseorang melihat bayangan, maka ia akan langsung teringat kepada ide abadi tersebut (rekoleksi). Menurut Plato, yang disebut sebagai pengetahuan adalah kumpulan ingatan atau pengenalan ide abadi yang terpendam dalam benak manusia.
Aristoteles merupakan dari Plato. Plato mengajarkan dua cara atau pengenalan terhadap pengetahuan. Pertama adalah pengenalan indrawi (empiris) dan kedua merupakan pengenalan melalui akal (rasional). Aristoteles menolak epistemologi platonisme dengan mengatakan bahwa pengetahuan seorang manusia harus berangkat dari hal-hal partikular yang terpersepsi oleh indra dan setelah itu, ia akan diabstraksikan menjadi pengetahuan akal budi (rasional) yang bersifat universal. Aristoteles dalam hal ini berpegang pada satu diktum : tidak ada sesuatupun yang terdapat diakal budi yang tidak terlebih dahulu terdapat pada indra. Aristoteles merupakan pengikut Plato ia hanya bersebrangan dengan ajaran gurunya mengenai perpisahan absolut antara ide dan gambarannya, antara pengertian dan pemandangan, antara “ada” dan “menjadi”. Ida Plato terlalu abstrak, Aristoteles menganggap Ida atau eidos sebagai sesuatu yang lebih konkret. Oleh sebab itu, tugas logika yang utama menurut Aristoteles adalah mengakui hubungan yang tepat antara yang umum dan yang khusus. Tugas ilmu adalah menyatakan bahwa menurut logika, pendapat yang khusus (dari pengalaman) harus datang dari pengetahuan yang bersifat umum.
Setelah era Aristoteles, Alexander agung dari Makedonia merupakan murid dari Aristoteles. Filsafat berkembang dengan cepat, namun tidak ada filsuf yang sungguh-sungguh besar kecuali Plotinus (205-270 M). Plotinus melanjutkan tradisi filsafat Plato, karya Plotinus yang terkenal adalah enneads atau sembilan, karena 6 uku tersebut asing-masing terdiri dari 9 bagian. Plotinus membagi alam menjadi 3 : The One, Intelligence (nous) dan Soul. Ajaran Plotinus dikenal dengan neoplatonisme yang pengaruhnya kemudian sangat besar terhadap para filsuf. Neoplatonisme berpandangan bahwa konsep fundamental yang menghubungkan The One (tuhan yang absolut) dengan dunia ini adalah melalui emanasi. Skema emanasi telah diadopsi tanpa modifikasi yang berarti oleh beberapa tokoh kristen seperti pseudo-dionysius dan Johannes scottus eriugena. Skema ini juga diadopsi oleh filsuf muslim seperti Al-farabi dan Ibn sina, namun ditolak atau diterima dengan banyak perubahan oleh St. Agustinus dan Thomas Aquinas, dan tokoh muslim seperti Al-Ghaazali
Pada abad pertengahan, epistemologi berada dalam pengaruh Aristoteles. Refleksi abad pertengahan dalam sains tujuan utamanya pengelaborasian teori dari pengetahuan demonstratif, yang dipengaruhi tradisi Aristotelian. Tradisi yang menekankan pada prosedur deduktif. Tradisi Aristotelian ini diperkuat oleh kebersatuannya dengan tradisi lainnya, yaitu Platonisme yang disebarkan oleh St. Agustine. Tradisi ini menambahkan permintaan universalitas dan keabadian. Sains kemudian diartikan pengetahuanyang objeknya universal dan abadi.
Renaisans yang terjadi pada abad ke-16 dimaknai dengan kelahiran kembali peradaban Yunani-Romawi. Pelopornya disebut “humanis”, yang berarti pelajar dan pemuja peradaban Yunani-Romawi para-kristen. Revolusi ilmiah menyebabkan epistemologi mengalami perubahan secara substansial. Nilai dari logika tidak diabaikan, namun kompleksitas dari kehidupan dan dorongan untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru tentang dunia menjadi lebih rumit daripada para pendahulunya yang membangkitkan teori baru tentang bagaimana cara mempelajari dunia yang paling efektif. Merumuskan hipotesis dan teori yang berguna merupakan ciri khas epistemologi dari revolusi ilmiah ini.

I.      Sekularisasi dan Westernisasi Ilmu
Dimulai ketika seorang filsuf barat, rene Descartes memformulasikan sebuah prinsip, aku berfikir maka aku ada.dengan prinsip ini, telahmenjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Penekanan terhadap rasio dan pancar indra sebagai sumber ilmu. Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangat berpengaruh. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang dimunculkan Oleh David Hume yang skeptik. Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak bersandarkan kepada pancar indra. Pandangan Kant didalam metafisika, tidak terdapat pernyataan seperti yang ada di dalam matematika, fisika, dan ilmu-ilmu yang berdasarkan kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transenden. Menurut Kant, pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis.
Epistemologi barat modern sekuler semakin bergulir dengan munculnya filsafat dialek tika Hegel yang terpengaruh oleh Kant. Hegel, pengetahuan adalah ongoing process. Epistemologi barat modern sekuler juga melahirkan paham ateisme. Akibatnya, paham ateisme, menjadi fenomena umum berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, teologi yahudi-kristen, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dll.
Ludweig feurBach murid Hegel merupakan salah satu pelopor paham ateisme diabad modern. feurBach, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia. Sekalipun agama atau teologi menyangkal, tuhan alah manusia dan manusia adalah tuhan. Jadi, agama akan menafikkan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi. Agama adalah mimpi akal manusia. Karl Marx berpendapat bahwa agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Agama adalah faktor sekunder, sedangkan aktor primernya adalah ekonomi.
Marx memuji karya Charles Robert Darwin dalam bidang sains, yang menyimpulkan Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal mula spesies bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan”. Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup, semua spesies yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesies menjadi berbeda antara yang satu dengan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam. Paham ateisme juga berkembang dalam ilmu sosiologi. Auguste Comte, memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Masyarakat berrkembang melalui tiga fase, perama, fase teologis (fiktif) kedua fase metafisik (abstrak), ketiga fase saintifik (positif). Karakteristik dari setiap fase itu bertentangan antara satu dengan yang lain. Fase teologis, manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan gaib. Fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, yang nyata yang menggantikan kekuatan gaib. Fase positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang mutlak. Pendapat Comte, yang menolak agama diikuit oleh para sosiolog yang lain.
Sigmund Freud menegaskan doktrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah satu-satunya jalan untuk membimbing kearah ilmu pengetahuan. Nietzsche menyatakan, “antara agama dan sains yang betul,tidak terdapat keterkaitan, persahabatan, bahkan permusuhan: keduanya menetap dibintang yang berbeda”. Nietzsche mengkritik agama, merujuk Secaraa lebih khusus kepada agama kristen.  Selain melahirkan ateisme, epistemologi barat modern sekuler telah menyebabkan teologi kristen menjadi sekuler. Pandangan hidup kristiani telah mengalami pergeseran paradigma.

2 komentar: